NAMA : DIYANA SUCI LISTYAWATI
NIM : 228242003
UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
Mata Kuliah :Program Studi: Magister Sains Hukum dan Pembangunan
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA 2025
Bencana alam yang terjadi di wilayah Sumatera tidak dapat lagi dipahami sebagai peristiwa alam semata. Dalam perspektif politik hukum, bencana - bencana tersebut merupakan akumulasi kebijakan negara yang sejak lama mengabaikan daya dukung lingkungan dan prinsip kehati-hatian. Sumatera adalah salah satu penyangga ekologis utama Indonesia. Hutan hujan tropis, lahan gambut, dan daerah aliran sungai besar seharusnya diperlakukan sebagai ruang lindung kehidupan. Namun, realitas menunjukkan bahwa ruang-ruang ekologis tersebut terus dipersempit oleh kebijakan perizinan yang longgar dan orientasi pembangunan yang berlebihan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Di dalam masyarakat adat Nusantara seperti Minangkabau, Dayak, dan Baduy, hutan dan sungai bukan ruang ekonomi murni, melainkan bagian dari tatanan moral dan spiritual. Di Minangkabau, sistem hutan ulayat dan ritual buka rimbo memastikan penggunaan hutan tidak melampaui daya dukung ekologis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nagari yang mempertahankan tata kelola adat mampu menjaga tutupan hutan lebih stabil selama 15 tahun terakhir dibandingkan wilayah yang mengandalkan regulasi perizinan pemerintah. Di Kalimantan, masyarakat Dayak Kenyah dengan konsep tana’ ulen menempatkan hutan sebagai zona sakral, sehingga penebangan pohon hanya diperbolehkan untuk kepentingan adat tertentu. Di Baduy, leuweung kolot dijaga sebagai hutan primer yang tidak boleh disentuh, sistem ini menjaga stabilitas debit Sungai Ciujung dan mencegah banjir besar di hilir. Contoh tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat menjaga alam bukan karena regulasi teknis, tetapi karena relasi etis dan spiritual.
Lain halnya dengan Pemerintah, secara konstitusional, negara diwajibkan menguasai dan mengelola sumber daya alam sebesar - besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut bukanlah kepemilikan absolut, melainkan mandat untuk mengatur, melindungi, dan memastikan keberlanjutan. Tetapi, ketika bencana terus berulang, maka patut dipertanyakan apakah mandat konstitusi tersebut masih dijalankan secara konsisten. Jika dilihat dari politik hukum lingkungan di Indonesia, secara normatif terlihat progresif. Prinsip pembangunan berkelanjutan, kehati-hatian, dan perlindungan lingkungan hidup telah diatur dalam berbagai regulasi. Namun, dalam praktik, politik hukum yang dijalankan justru menunjukkan ketimpangan serius antara norma dan kebijakan. Sebagai contoh adalah deforestasi besar besaran untuk industri sawit, tambang, dan kehutanan komersial telah mengakibatkan bencana seperti banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera. Di sejumlah titik, wilayah yang dilanda banjir berada dalam konsesi perkebunan atau penebangan kayu. Bencana yang seharusnya bisa diredam menjadi tragedi kemanusiaan karena kerusakan ekosistem menghilangkan daya tahan alami lingkungan.
Saat ini kebijakan lingkungan masih berpijak pada paradigma pertumbuhan ekonomi, di mana hutan dianggap aset negara untuk dieksploitasi demi investasi. Berbeda halnya dengan masyarakat adat yang menempatkan alam sebagai tatanan moral dan spiritual. Hal tersebut telah menjadikan masyarakat adat dianggap sebagai hambatan pembangunan oleh sebagian kalangan dan bukan mitra konservasi. Bencana Sumatera beberapa waktu lalu seharusnya menjadi titik balik kesadaran pemerintah. Jika negara terus memberi izin penebangan di wilayah rawan ekologis, membatasi ruang adat, dan meminggirkan struktur spiritual masyarakat lokal, maka siklus bencana akan terus berulang. Ekoteologi Nusantara menawarkan kerangka etis untuk membenahi kebijakan lingkungan yaitu mengelola bumi dengan rasa hormat, melibatkan komunitas adat dalam pengambilan keputusan, dan menolak pembangunan yang mengorbankan keseimbangan ekologis.
Merusak alam berarti merusak tanda-tanda Tuhan, dan mengkhianati amanah yang diberikan kepada manusia. Bencana banjir dan longsor di Sumatra adalah umpan balik dari alam atas pengkhianatan amanah tersebut. Hukum, dalam perspektif ini, harus bergerak melampaui sanksi pidana dan perdata atas perusakan lingkungan semata, tetapi juga harus mencakup pertanggungjawaban moral dan spiritual atas kegagalan menjalankan fungsi kekhalifahan. Kegagalan tata kelola lingkungan yang berujung pada korban jiwa dalam jumlah banyak, bukan hanya merupakan tindak pidana lingkungan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, melainkan juga kejahatan moral.
Hukum harus memfasilitasi kembali melalui instrumen yang mendorong restorasi dan regenerasi ekosistem, bukan sekadar hukuman. Hal tersebut dapat dimanifestasikan dengan sanksi pemulihan ekologis yang maksimal. Hukum dapat memaksa pelaku perusakan lingkungan untuk memulihkan kerusakan hingga ke kondisi semula. Hal lainnya yang harus dilakukan adalah penguatan environmental law enforcement dengan cara mengusut tuntas dugaan illegal logging dan penyalahgunaan izin yang menjadi faktor pemicu utama bencana, yang seringkali melibatkan oknum - oknum berkuasa. Hukum harus menjadi penjaga amanah, bukan alat legitimasi eksploitasi.
Tidak kalah pentingnya adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal yang harus menjadi bagian integral dari kebijakan. Masyarakat adat dan masyarakat lokal bukanlah penghambat pembangunan, melainkan penjaga ekosistem yang selama ini terbukti mampu menjaga keseimbangan alam dibanding Pemerintah. Negara juga harus berani menjadikan bencana sebagai indikator kegagalan kebijakan, bukan sekadar peristiwa alam yang netral. Tanpa keberanian politik tersebut, refleksi atas bencana hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa perubahan nyata.
Masyarakat Adat dan Pemerintah memiliki peran berbeda namun saling melengkapi dalam menjaga alam. Masyarakat Adat adalah penjaga garda depan dengan kearifan lokal, pengetahuan turun-temurun, dan praktik konservasi efektif yang menjaga keanekaragaman hayati dunia, namun sering terpinggirkan dan hak wilayahnya dirampas oleh Negara atas nama pembangunan. Sementara itu, Pemerintah punya mandat konstitusional untuk melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan melalui kebijakan hukum, namun implementasinya sering lemah, seringkali mengedepankan kepentingan investasi/pembangunan yang justru mengancam ruang hidup adat, sehingga butuh sinergi pengakuan hak wilayah adat dan legislasi kuat dalam menjaga alam.

